Senin, 24 Agustus 2009
�Memasung Langit� dari Wangsit Prabu Siliwangi ala Teater Kendan
Minggu, 20 Juni 2004, 00:00 WIB
Redupnya cahaya di dalam kerangka bangunan, dengan background kain hitam putih, sobekan-sobekan kertas kecil yang disebarkan di tanah kering kerontang yang ditumbuhi satu tunas pohon kecil, serta ranting-ranting pohon yang dibentuk lingkaran sebagai atap yang digantungi batu-batu kecil, dan unsur-unsur alam yang hadir di mana rumput-rumput yang tumbuh meninggi, menghiasi setting panggung dalam pertunjukan teater bertajuk "Memasung Langit".
Sebuah pementasan teater sederhana berdurasi 20 menit oleh Teater Kendan STSI Cicalengka Bandung ini, digelar malam tadi (18/6) di ISI Yogyakarta dengan mengambil lokasi di dalam kerangka bangunan. Pementasan yang diperankan oleh satu aktor Bob Ujo ini merupakan naskah transformasi, dengan mengambil beberapa baris dari prolog cerita "Wangsit" Prabu Siliwangi.
Pementasan yang dipenuhi permainan rasa, percintaan aktor lewat tubuh dan katanya menjadi sebuah media yang tidak dapat dipisahkan. Gerak tubuh yang kadang terlupakan tersebut menjadi bahasa yang sebenarnya mudah dimengerti, begitupun sebuah kata. Semua itu tersaji dalam hidangan rasa yang dikemas secara sederhana, dengan lantunan jiwa yang tercipta oleh nada menjadi warna dalam pementasan tersebut.
Dengan gerak tubuh serta permainan rasa oleh sang aktor, pementasan "Memasung Langit" tersebut, memberikan pekerjaan bagi puluhan penontonnya. Pertama, menafsirkan apa makna yang tersimpan dalam kata-kata, setting, serta gerak tubuh sang aktor. Kemudian para penonton-pun mempertanyakan, Bob menangkap apa dalam "Wangsit" Prabu Siliwangi tersebut.
"Memasung Langit" menurut Bob yang merangkap sutradara dalam pementasan ini, menceritakan tentang keberangkatan Prabu Siliwangi. Baginya �Memasung Langit� adalah pengabdian seorang manusia, di mana ia pasrah terhadap guliran waktu, lingkungan dan Tuhan. Namun dengan pencarian, pengembaraan, tekad, kegigihan, penyikapan hidup menjadi penciptaan sebuah karya.
Setting yang dibayangkan sebagai simbolisasi dalam �Wangsit� Prabu Siliwangi tersebut, bagi Bob merupakan suasana. Seperti tanah kering dan tunas kecil dalam �Wangsit�, yang mempunyai simbol bahwa di atas kekeringan, di atas kering kerontangnya dunia, di atas perebutan kekuasaan, dan setelah beberapa kali pergantian kekuasaan akan tumbuh satu tunas dengan penciptaan sebuah karya. Yang terkutip dalam baris prolog Wangsit, �Aku pasti kembali setelah tujuh gunung meletus, Pajajaran pasti kembali�.
Selain setting, simbolisasi lain yang dihadirkan Bob, yaitu melalui kostum yang dikenakannya. Jas berwarna hijau, menurutnya menggambarkan ketangguhan dan warna-warna Prabu. Di sini Prabu Siliwangi sendiri adalah seorang prajurit yang tangguh, gagah namun sederhana dan tidak megah. Ia mengelilingi Nusantara untuk nyeda (mencari Tuhan), untuk mencari jati diri.
Proses penggarapan dan penggalian wacana yang membutuhkan waktu setengah tahun, Bob bersama rekan-rekannya ingin menyampaikan dan mengungkapkan, bahwa bahasa tubuh cantik, bahasa kata menarik serta seni �teater� tidaklah sulit, karena teater adalah bahasa kita sehari-hari. Bagi mereka aturan baku sebuah pertunjukan bukanlah sebuah yang harus didewakan, bukan penghalang untuk berekspresi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sip mas infonya, buat nambah wawasan.. mas, jgn lupa mampir jg ke blog aku ya sharcen.blogspot.com ditunggu ya mas? *jgn lp jadi pengikut.. ;D
BalasHapus