Berpikir tentang budaya Nusantara, adalah berbicara tentang identitas Indonesia, yang memiliki latar belakang kondisi majemuk, didalamnya tumbuh berbagai kebiasaan lingkungan yang berkembang menurut sejarahnya masing-masing.
Seiring perkembangan masa, pertumbuhan ini mengakibatkan pergeseran nilai dalam kerangka masing-masing kultur, sebagai konsekwensi dari adanya perbauran dalam kemajemukan budaya tersebut. Akhirnya saling memberi warna kepada kepribadian yang akan muncul dari lingkungan wilayah budaya itu, (Clifford Geertz menyebut lingkungan wilayah budaya sebagai old societles – masyarakat-masyarakat lama).
Masyarakat lama bersentuhan dengan “mitos” baru, yang dipublikasikan oleh dunia maju (barat), dengan media teknologi semacam televisi, radio, internet dan lain sebagainya, yang sanggup memberikan informasi secepat-sepatnya. “Mitos” baru ini lambat laun mempengaruhi pola kehidupan masyarakat lama, pada akhirnya kebiasaan yang telah tumbuh pada mereka ditinggalkan. Karena diangap bahwa “mitos” baru ini dapat mesejahterakan hidupnya, apa saja yang dibawa dunia barat tersebut di nilai sesuatu yang maju yang lahir dari dunia maju.
Kuatnya keinginan masyarakat lama untuk merangkul budaya barat yang menguasai media teknologi dengan “mitosnya”, melupakan bahkan meruntuhkan tatanan yang telah ada. Sedemikian derasnya arus ini datang dengan wajah ke-modernannya, diterima oleh masyarakat kita. Kemudian menganggap “dunia tersebut” telah sukses menciptakan kebudayaan yang telah “memakmurkan” bangsanya.
Hal ini membuktikan bahwa betapa “tipis” pertahanan atau khazanah idiom budaya kita, lalu kemudian merangkul idiom budaya asing dengan lebih gairah dan “kreatif”, tanpa mempedulikan dampaknya terhadap generasi setelahnya.
Pola pemikiran tersebut berkembang membentuk masyarakat kita, agar terus hilaf terhadap nilai “kearifan leluhur”, karena teknologi media tersebut sedikitpun tidak berpihak pada kearifan tersebut.
Perlu ada satu pola “mengingatkan” kepada masyarakat, sekedar sebuah kendali, agar masyarakat tidak perlu meninggalkan kebiasaan lamanya, namun bukan berarti pula harus menolak mentah-mentah apa yang datang dari dunia barat tersebut. Artinya masyarakat diajak untuk cerdas dan secara sadar memilah mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus dikembangkan.
Harus ada strategi khusus dalam realisasinya;pemerintah, seniman, budayawan, sejarawan dan lain sebagainya. Bahu-membahu harus dapat mewujudkannya;mengenalkan kembali kebiasan lama sebagai satu citra identitas bangsa, salah satunya yaitu dengan mempertunjukan kembali keanekaragaman seni dan budaya sejak dini terhadap generasi kita, sebutlah melalui kemasan “Pesta Budaya Nuras”.
Pesta budaya “Nuras”
Disebelah utara Kec.Nagreg, tepatnya Kp.Nenggeng Desa Citaman terdapat sebuah mata air. Sepanjang masa airnya tak pernah mengering. Pada awal musim hujan ditempat ini dilakukan upacara sakral;memuji sukur terhadap penguasa alam beserta isi. Amitsun, demikian masyarakat menyebutnya. Upacara ini berisikan kegiatan bersama membersihkan saluran mata air yang terdapat di kampung tersebut, agar airnya mengalir dengan baik. Bergotong-royong masyarakat membersihkan saluran dan mata airnya, pada rangakaian acara masyarakat menyembelih seekor kambing hitam tepat dilokasi mata air berada, untuk kemudian dagingya diolah dan dinikmati.
Ungkapan rasa tafakur yang pada intinya bersyukur kepada yang Kholik bahwa telah diberi berkah dan kesejahteraan yang melimpah dengan hadirnya air . Digambarkan dalam upacara ini dengan dipertunjukannya helaran atau arak-arakan (parade seni) dan pentas kesenian rakyat “tradisional”.
Pada segmen helaran, simbol-simbol kesuburan yang digambarkan dalam aneka macam makanan dan hasil tani yang diarak keliling kampung. Tetabuhan serta nyanyian mengisi kemeriahan upacara ini. Pada penghujung acara masyarakat berkumpul memusatkan syukuran dilokasi mata air, menikmati segala hidangan sambil menyaksikan beberapa bentuk kesenian rakyat yang sudah jarang ditemukan, seperti : Reog sunda (dog-dog), Karinding, Beluk, Calung, Gondang dan lain sebagainya.
Tahun 1965 upacara ini tidak dilakukan, tetapi tahun 2004 lalu kembali dilakukan meski dengan kemasan yang sederhana;tidak mewujudkan bentuk keseluruhan “Nuras”. Tahun-tahun berikutnya hingga 2008 sekarang tidak dilakukan kembali, padahal keberadaan upacara tersebut sangat besar manfaatnya bagi masyarakat Kp.Nenggeng. semestinya harus dilestarikan dan dijaga.
Perlu ada kajian serta penggalian kembali terhadap “Nuras”, sebagai cara untuk mempertahankan satu bentuk kekayaan budaya, aset bangsa yang sudah jarang ditemukan bahkan hampir punah.
Bob Ujo